Konsep Gender-responsive planning and budgeting atau Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Gender

            Diseluruh belahan dunia seringkali hak perempuan untuk bersuara sangat jarang di dengar. Bahkan perempuan harus berjuang untuk memperoleh hak suaranya kepada penguasa, dan untuk mengadakan kegiatan sosial untuk kelompoknya perempuan harus berjuang sendiri. Di masyarakat seringkali perempuan di anggap sebagai beban sosial, dimana perempuan harus selalu bergantung serta tunduk kepada laki-laki. Maka tak heran bila kemudian muncul anggapan seperti yang terjadi di Asia bahwa lebih baik memiliki anak laki-laki daripada memiliki anak perempuan. Hal ini di perkuat dengan laporan PBB pada tahun 2011 memperkirakan bahwa di Asia sekitar 134 juta perempuan meninggal karena digugurkan di dalam kandungan, dibunuh sewaktu kecil, dan ditelantarkan.
            Majalah GEO edisi Prancis juga sempat mengutip perkataan seorang remaja perempuan yaitu  Zahra 15 tahun yang menyatakan bahwa bila dia melihat perlakuan terhadap wanita, dia tidak ingin menjadi dewasa. Hal ini dapat mencerminkan kenyataan bahwa diskriminasi gender masih dirasakan diseluruh dunia, dan wanita masih menjadi korban dengan mendapatkan perlakuan buruk selama ini. Seringkali kelemahan fisik perempuan dijadikan alasan untuk mempersempit ruang gerak perempuan di ranah publik. Dan kekerasan terhadap perempuan masih terus saja terjadi hingga saat ini. Diskriminasi terhadap kaum perempuan masih saja dapat dirasakan oleh para kaum perempuan hingga sekarang.
            Kita dapat mengambil contoh diskriminasi yang terjadi di India dimana diskriminasi terhadap wanita terjadi bahkan sejak sebelum mereka dilahirkan. Dan yang lebih menyedihkan adalah diskriminasi tersebut justru dilakukan oleh ibu mereka sendiri. Seperti dilansir oleh lembaga pendidikan Universitas Negara Bagian Michigan dan Universitas California di Amerika Serikat, berdasarkan survei yang dilakukan terhadap lebih dari 30 ribu kaum wanita di India menyatakan bahwa para ibu akan lebih menyayangi bayinya apabila mereka mengetahui bahwa bayi yang ada dikandungan mereka adalah laki-laki. Dan para ibu  yang mengandung bayi laki-laki akan lebih sering memeriksakan kandungannya serta lebih memperhatikan kesehatannya dengan minum vitamin, zat besi dan suntik tetanus. Sangat berbanding terbalik apabila mereka mengandung bayi perempuan, para ibu akan cenderung tidak memperdulikan kondisi janinnya. Di India mempunyai anak perempuan dianggap sebagai beban bagi keluarga karena ketika perempuan India menikah maka dia harus membayar sejumlah uang yang cukup besar kepada pengantin pria. Maka dapat disimpulkan bahwa diskriminasi yang terjadi di India merupakan akibat dari adat istiadat yang telah ada.
            Di Indonesia, diskriminasi juga masih dapat dirasakan, utamanya di dunia kerja. Hal ini dapat dilihat berdasarkan data BPS yang menyatakan bahwa ada ketimpangan rasio kerja antara perempuan dan laki-laki, dimana laki-laki yang berusia 25 tahun memiliki kesempatan kerja yang lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan yaitu 89 persen, hal ini tidak sebanding dengan rasio kerja perempuan yang hanya memiliki kesempatan kerja 32 persen. Angka partisipasi kerja perempuan juga masih tergolong rendah, dimana dalam lima tahun terakhir hanya berkisar antara 50 sampai 55 persen. Dan selebihnya lebih memilih bekerja di rumah sebagai ibu rumah tangga.  Selain itu dalam pengambilan kebijakan publik partisipasi perempuan juga masih sangat rendah, hal ini dapat di lihat dari jumlah kursi legislator yang diduduki perempuan di Indonesia pada periode 2009-2014 sebanyak 117 perempuan, sedangkan periode 2014-2016 justru hanya 95 perempuan yang menjadi anggota DPRD. Ini menunjukkan bahwa tingkat partisipasi perempuan masih sangat rendah dalam mengambil kebijakan.
Menurut sensus penduduk yang dilakukan pada tahun 2000 ada sebesar 102.847.415 penduduk perempuan di Indonesia, atau berarti sekitar 49,9 persen dari penduduk total Indonesia, hal ini dapat menjadi potensi sumber daya pembangunan yang cukup besar untuk mendorong laju pembangunan di Indonesia. Dengan adanya partisipasi aktif perempuan dalam setiap proses pembangunan maka hal ini akan mempercepat tercapainya tujuan pembangunan. Namun kenyataannya, peran perempuan masih dianggap kurang penting pada beberapa aspek pembangunan. Hal ini karena kesempatan yang diberikan kepada perempuan terbatas dalam mengakses dan mengontrol sumber daya pembangunan. Meski tidak seburuk di Negara lain, seperti di Amerika misalnya, dimana perempuan akan mendapatkan upah yang lebih rendah dibandingkan lelaki dalam pekerjaan yang sama dan jabatan yang sama pula, namun  diperlukan  adannya kebijakan pemerintah dalam menangani diskriminasi gender ini, apalagi indonesia merupakan Negara yang turut berkomitmen dalam menangani kesenjangan gender. Yang di buktikan dengan  keikutsertaan Indonesia dalam penandatanganan Convetion on the Elimination of All Forms of Dicrimination Againts Women (CEDAW) pada tahun 1980 yang dengan tegas menolak segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.
            Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) merupakan suatu instrumen standar internasional yang diadopsi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 18 Desember 1979 dan mulai berlaku pada tanggal 3 Desember 1981. CEDAW menetapkan secara universal prinsip-prinsip persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Konvensi ini menetapkan persamaan hak untuk perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, di semua bidang baik bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan sipil.
            Pada tahun 1995 Indonesia juga ikut mendukung Beijing Platform for Action (BPFA)  atau  Landasan Aksi Beijing yang merupakan rekomendasi dan hasil Konferensi tingkat Dunia tentang Perempuan ke IV yang diselenggarakan di Beijing, China, pada 4 - 15 September 1995 yang menghasilkan sejumlah rekomendasi yang harus dilaksanakan oleh negara-negara  anggota PBB dalam upaya meningkatkan akses dan kontrol kaum perempuan  atas sumber daya ekonomi, politik, sosial, dan budaya.
            Komitmen internasional dalam kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan juga tertuang dalam Millenium Development Goals (MDGs) atau Tujuan Pembangunan Milenium pada tahun 2000 yang merupakan deklarasi  bersama dari 189 negara yang berkomitmen untuk bersama-sama mewujudkan pembangunan  yang berpusat pada kesejahteraan manusia dengan 8 tujuan utama.  Tujuan ke-3 MDGs secara khusus mendorong  kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan.  Tujuan MDGs lainnya terkait dengan pengurangan kemiskinan, pendidikan, kesehatan ibu dan anak, penanggulangan penyakit menular, kelestarian lingkungan hidup, dan mengembangkan kemitraan global  untuk pembangunan.  Dan Indonesia merupakan salah satu negara yang ikut menandatangani Deklarasi Milenium tersebut. Dengan demikian, Pemerintah Indonesia mempunyai tanggung jawab untuk melaksanakan pembangunan demi  meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan menghormati prinsip kesetaraan gender.
            Sebagai tindak lanjut dari hal tersebut Pemerintah Indonesia kemudian mengatur tentang penghapusan diskriminasi terhadap perempuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Sebenarnya, Indonesia telah berkomitmen dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender melalui GBHN 1999, Namun pada pelaksanaannya mengalami berbagai kendala karena dianggap komitmen tersebut sebagai pengalokasian program khusus untuk perempuan, yang kemudian muncul banyak kesalahpahaman dalam memaknai komitmen tersebut. Yang kemudian di sosialisasikannya Instruksi presiden No. 9 tahun 2000 sebagai strategi Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional, yang ditujukan kepada seluruh instansi pemerintah, swasta dan masyarakat baik di pusat dan di daerah.
            Instruksi Presiden No. 9 tahun 2000 telah berjalan lebih kurang 15 (lima belas) tahun dan berbagai payung hukum telah diterbitkan dalam rangka mendorong keberhasilan Pengarusutamaan Gender (PUG) baik di tingkat pusat maupun daerah, namun dalam hal pelaksanaan maupun hasilnya belumlah maksimal, masih ada kesenjangan gender di berbagai sektor pembangunan. Salah satu faktor belum berhasilnya pembangunan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak disebabkan keterbatasan pengertian dan pemahaman para pemangku kepentingan, SKPD dan masyarakat tentang konsep gender dan aplikasinya. Oleh karena itu diperlukan dukungan dukungan dan political will dari pemangku kepentingan, pengetahuan dasar serta analisis gender untuk menjawab berbagai permasalahan yang ada, karena hal ini merupakan amanat dari RPJMN 2015-2019 yang tertuang dalam Perpres No. 2 Tahun 2015 tentang pengarusutamaan dalam Pembangunan nasional yang salah satunya adalah Pengarusutamaan Gender.
            Kemudian untuk memastikan pelaksanaanya PUG di daerah, dikeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2008 (yang kemudian disempurnakan dan diperbaiki  melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 67 Tahun 2011)  tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender  di Daerah.  Bahkan pada tahun 2012 Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak telah menerbitkan Surat  Edaran Nomor : 270/M.PPN/11/2012, Nomor : SE-33/MK.02/2012, Nomor: 050/4379A/SJ, dan Nomor: SE 46/MPP-PA/11/2012 Tentang Strategi Nasional Percepatan Pengarusutamaan Gender Melalui Perencanaan dan Penganggaran Yang Responsif Gender (Stranas PPRG).
            Yang perlu di tekankan disini, Perencanaan dan Penganggaran Yang Responsif Gender bukan berarti adanya anggaran baru yang harus di sediakan melainkan anggaran ini tidak terpisahkan dari anggaran yang telah ada tanpa ada beban tambahan, hanya saja Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Gender ini memastikan agar penganggaran yang ada responsif terhadap kebutuhan perempuan dan laki-laki serta dapat berkontribusi untuk mengurangi kesenjangan penerima manfaat dari pembangunan.
            Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Gender ini dianggap penting karena adanya Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Gender  ini dianggap sebagai instrumen untuk menerjemahkan dan melaksanakan komitmen, kebijakan dan regulasi pemerintah. Selain itu Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Gender juga merupakan instrumen dalam melaksanakan fungsi dan tujuan negara untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh warga negara seperti yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar tahun 1945, bahwa tujuan negara adalah melindungi, mencerdaskan,  mensejahterakan dan mewujudkan keadilan. Keadilan yang dimaksud disini adalah keadilan yang tidak mengenal gender lelaki atau perempuan, anak laki-laki ataupun anak perempuan, serta tua maupun muda. Semua berhak untuk di lindungi, di cerdaskan dan mendapatkan kesejahteraan. Oleh karenanya perlu ada paradigma baru dalam pembangunan nasional dimana perempuan diikutsertakan dalam pembangunan agar menciptakan pembangunan yang menekankan pada Growth (pertumbuhan) dan Equity (keadilan).
            Dengan adanya Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Gender, bertujuan untuk memastikan manfaat pelayanan dasar dapat dirasakan secara adil oleh semua lapisan masyarakat baik laki-laki atau perempuan, karena pada dasarnya laki-laki dan perempuan membutuhkan tingkat pelayanan yang berbeda. Sebagai contoh dari segi kesehatan, untuk meningkatkan angka harapan hidup perempuan tidak sekedar butuh pelayanan kesehatan namun juga pelayanan persalinan yang memadai dan tenaga persalinan yang terlatih.
Namun Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif gender bukan berarti pemerintah harus mengeluarkan anggaran baru untuk program ini, karena pada dasarnya Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Gender ini tidak dapat di pisahkan dari anggaran yang telah ada. Dan Perencanaan dan Penganggaran Responsif  Gender ini bukanlah anggaran baru melainkan sebuah istrumen dalam penganggaran yang pelaksanaannya di dasarkan pada kebutuhan Gender yang berbeda.
Adanya Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Gender ini juga akan mendorong kesadaran perempuan akan pentingnya partisipasi perempuan dalam pembangunan, sehingga perempuan dapat ikut berperan aktif dalam pembangunan. Perempuan tidak lagi hanya berkutat pada sekitar kegiatan rumah tangga namun perempuan juga dapat turut mengisi kursi-kursi pembuat kebijakan, sehingga kebijakan dapat lebih seimbang dan mampu mengurangi kesenjangan yang ada.
            Dan dengan begitu maka perempuan dan laki-laki dapat di sejajarkan dan keduanyanya mempunyai hak yang sama dalam memperoleh keadilan. Perempuan bukan lagi hanya duduk di belakang laki-laki namun perempuan diikutsertakan dalam menentukan kebijakan, sehingga dapat dikatakan bahwa perempuan dapat menjadi mitra aktif bagi laki-laki.
Hal lain yang akan dapat dirasakan dengan adanya Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Gender adalah pemerintah akan menjadi lebih mudah untuk mengetahui sejauh mana dampak dari  alokasi anggaran yang telah di keluarkan oleh pemerintah dapat dirasakan dan berpengaruh terhadap kesetaraan gender, kesenjangan pelaksanaan prioritas pembangunan dapat dikurangi, atau bahkan dihilangkan karena telah responsif terhadap kebutuhan gender baik laki-laki maupun perempuan. Hal ini juga akan memberikan ruang bagi pemerintah untuk mengetahui fokus pembiayaan yang diberikan kepada kelompok marginal dan kelompok yang tidak beruntung yang menggunakan alokasi anggaran. Lebih lanjut diharapkan dari penerapan ini adalah terwujudnya keseimbangan dan sustainable dalam pembangunan serta semakin meningkatnya akuntabilitas dan efektivitas pelaksanaan kebijakan pemerintah.
Selain kebijakan dalam sektor keuangan atau dalam penganggaran, kebijakan dalam sektor hukum (perundang-undangan) juga masih banyak yang bias gender dan tidak atau belum menganut asas keadilan. Padahal hukum itu dipahami sebagai instrumen untuk menyelesaikan ketidakadilan dalam relasi antar manusia, termasuk relasi berdasarkan gender. Produk perundang-undangan di mana hukum dihasilkan dan diputuskan, pada beberapa fakta tidak selamanya melahirkan keadilan bagi korban, khususnya perempuan. Undang-undang No.1/1974 dalam banyak hal belum mampu sepenuhnya mengafirmasi keadilan bagi perempuan. Melalui undang-undang ini banyak perempuan yang belum merasakan keadilan, bahkan pada beberapa perkara justru mengalami kekerasan dan menjadi obyek penderita. Laporan Komisi Nasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan (KOMNAS Perempuan) tahun 2006 membukukan 22.350 kasus kekerasan terhadap kaum perempuan, ini merupakan fakta yang tidak dapat diingkari betapa kaum perempuan masih menjadi subyek ketidakadilan. Hal ini menandakan bahwa perempuan masih menjadi ”makanan empuk” bagi produk hukum yang menimbulkan kekerasan terhadap perempuan. Oleh karena itu, sangat penting bagi kaum perempuan untuk dapat terlibat sebagai gerakan affirmative action dalam pengambilan kebijakan publik di semua sektor. Sebab hanya perempuan sendiri yang memahami persis kebutuhannya.
Selain di dalam pengambilan kebijakan publik begitupula di dunia kerja, dimana tingkat partisipasi dan kesempatan kerja perempuan lebih rendah dibanding dengan laki-laki dan anggapan yang mengatakan bahwa pekerjaan utama perempuan adalah dilingkup domestik atau rumah tangga dan dunia kerja merupakan pekerjaan sekunder bagi perempuan, sehingga perempuan memiliki akses yang minim dalam dunia kerja, sehingga perlu adanya revolusi agar perempuan dapat lebih mendapatkan akses dan kontrol di dunia kerja.
Oleh karena itu diharapkan dengan adanya Perencanaan dan Penganggaran Responsif gender ini akan mampu memenuhi hak-hak gender baik laki-laki maupun perempuan, serta keduanya dapat berperan aktif dan bermitra dalam meningkatkan dan mensukseskan pembangunan di Indonesia. Namun Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif  Gender ini tidak akan dengan mudah untuk di terapkan dab dinikmati hasilnya, hal ini disebabkan karena  harus adanya peran dari masyarakat dalam mendukung pelaksanaan program Perencanaan dan Penganggaran Responsif  Gender ini. Kualitas sumber daya manusia yang masih rendah di Indonesia akan menjadi tantangan tersendiri bagi Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Gender ini, karena ketika pemerintah aktif menggalakan Program ini namun kurang adanya tanggapan dari masyarakat terhadap program ini maka akan sulit bagi pemerintah untuk menunjukkan hasil dari Program Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Gender ini.
Oleh karenanya sangat diperlukan sosialisasi kepada semua lapisan masyarakat dan juga kepada seluruh satuan kerja Pemerintah untuk ikut serta dalam mensukseskan program ini. Dan juga sangat penting di adakannya program peningkatan kualitas sumber daya manusia agar semua lapisan masyarakat tidak hanya turut mensukseskan program Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Gender ini, namun juga ikut berperan aktif dan turut memberikan kontribusi bagi negara dalam menentukan kebijakan yang berkeadilan bagi seluruh masyarakat, karena dengan adanya peningkatan kualitas sumber daya manusia maka antar gender tidak lagi saling menganggap lemah karena keduanya memiliki ketrampilan dibidangnya masing-masing. Dan juga diharapkan dengan adanya peningkatan kualitas sumber daya manusia utamanya perempuan akan dapat mendorong peningkatan jumlah suara perempuan di kursi-kursi parlemen untuk menyuarakan hak-hak perempuan dan seluruh masyarakat sebagai penyeimbang dari kebijakan-kebijakan yang di suarakan oleh kaum mayoritas.
Kemudian dengan adanya Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Gender ini akan memberikan warna baru, tidak hanya dalam bidang ekonomi namun juga bidang politik, sosial, hukum dan bidang-bidang lainnya. Perempuan tidak akan takut lagi menyuarakan pendapatnya, dan perempuan juga berhak mendapatkan pekerjaan sesuai dengan kemampuannya. Yang kemudian akan berpengaruh pada peningkatan kesempatan kerja bagi perempuan dan meningkatnya angka partisipasi kerja perempuan yang  tentunya ini akan berdampak pula pada perekonomian negara, yang mana dalam hal ini akan berpengaruh pada menurunnya tingkat pengangguran atau terpenuhinya full employment dan pertumbuhan ekonomi akan meningkat.
Tentunya kesempatan ini tidak boleh disia-siakan oleh pemerintah. Pemerintah harus merencanakan konsep yang matang dalam Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Gender ini agar dapat memberikan hasil yang maksimal. Tidak hanya itu, perlu adanya monitoring dan evaluasi dalam Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Gender ini, karena seringkali satuan kerja pemerintah daerah kurang mampu mengelola dan memaksimalkan setiap program yang ada, sehingga perlu adanya dorongan dari pemerintah pusat serta pengawasan dan evaluasi agar program ini dapat berhasil.

Ada satu hal lagi yang harus digaris bawahi, yaitu tentang Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Gender maka disini tidak selalu berbicara tentang perempuan, namun tentang keadilan dalam memperoleh hak seluruh lapisan masyarakat, meskipun seringkali yang kita lihat selama ini  lebih sering mengacu pada ketidakadilan yang diterima oleh kaum perempuan, namun tidak selamanya begitu karena terkadang terjadi pula hal yang sebaliknya, yaitu adanya hak-hak laki-laki yang seringkali belum terpenuhi pula. Di beberapa daerah misalnya, kaum lelaki menjadi kaum minoritas dan tidak mendapatkan keadilan. Maka dari itu program ini tidak harus selalu terfokus pada perempuan, namun lebih pada penyetaraan hak antara perempuan dan laki-laki sebagai tolak ukur bahwa semua lapisan masyarakat mendapatkan keadilan sesuai yang di cita-citakan negara dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. 

Comments

Popular posts from this blog

Perdagangan dan Mobilitas Faktor Produksi antar Wilayah

KISAH DARI LANGIT

TEORI PERUSAHAAN